Catatan IV Unilever CSR (Tanggung jawab Sosial Perusahaan): Diskriminasi, Eksklusi, Eksploitasi
2009.07.27 | Afiliasi IUF, Berita Buruh Internasional, Hak-Hak Buruh, IUF Asia Pacific, Perusahaan Multinasional and Sektor Makanan & Minuman
Realitas buruk buruh kontrak dan ‘tanggapan’ Unilever kepada ‘pemangku kepentingan yang prihatin’.
Demonstrasi 5 Juli oleh anggota-anggota Federasi Nasional Pekerja Makanan, Minuman dan Tembakau yang melawat ke Khanewal adalah untuk menunjukkan solidaritas melawan pekerjaan lepas di Lipton Pakistan.
Lama tidak biasa ditantang oleh kenyataan di balik klaim CSR, Unilever telah merespon kepada “laporan tahunan alternatif” yang disebarkan oleh serikat buruh Belanda FNV-Bondgenoten pada rapat pemegang saham tanggal 14 Mei di Rotterdam . Sebuah isu yang sensitif khususnya untuk Unilever adalah praktek pemekerjaan di Pakistan, dimana mereka menerima serangkaian penghargaan tiada akhir termasuk “unggul” dalam Praktek Tempat Kerja Terbaik. Unilever Pakistan mengklaim bahwa mereka “dipilih untuk penghargaan ini karena inisiatif program tahunan Paspor Kesehatan Vitalitas Pribadi untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan semua pegawainya”. Kampanye Casual-T telah mengungkap sistem brutal diskriminasi dan eksploitasi di balik klaim-klaim ini, membuat Unilever menjadi defensif.
Bagaimana mereka merespon? Untuk membenarkan penutupan pabrik Lipton tea di Karachi Agustus 2008, Unilever dalam Ringkasan Keprihatinan Pemangku Kepentingan dan Respon kami menimbulkan lebih banyaknya penyelundupan (walau bukan suatu fenomena baru) dan peningkatan biaya pengiriman teh dari wilayah selatan ke utara negeri. Akan tetapi, yang tidak mereka beritahukan kepada “para pemangku kepentingan yang prihatin” adalah bahwa ketika pabrik tutup, mesin-mesin dipindahkan ke “fabrik tak bernama” yang menghasilkan teh Lipton dan Brooke Bond dengan 100% pekerjaan lepas oleh kontraktor-kontraktor buruh! Mantan Manajer Pekerjaan Unilever Pakistan pindah dengan membawa mesin-mesin, ke tempat dimana dia sekarang mengepalai sebuah perusahaan bernama “Trust Professional” yang dikontrak oleh Unilever Pakistan untuk memproduksi minuman-minuman bermerk tersebut. Apa perbedaan antara operasi ini dan pabrik yang ditutup? Pabrik Unilever Karachi memiliki 122 pengawai Unilever langsung. Penyelundup yang sama, biaya transportasi yang sama, tapi tidak ada tanggung jawab majikan di dalam pabrik tak bernama, berkat 100% outsourcing.
Penutupan pabrik Karachi hanya menyisakan Khanewal sebagai pabrik teh Unilever yang dioperasikan dan dimiliki langsung di Pakistan. Para pekerja lepas di pabrik Khanewal, banyak di antaranya terus dipekerjakan selama 10, 15 dan bahkan 20 tahun dan lebih banyak lagi sebagai pekerja kontrak, telah membentuk sebuah Komite Aksi untuk memperjuangkan pemekerjaan langsung dan permanen oleh Unilever. Karena kampanye IUF telah meraih banyak simpatisan, manajemen Unilever Pakistan telah meningkatkan serangannya kepada anggota-anggota Komite Aksi dengan menolak mereka untuk bekerja dan mengakibatkan mereka terpuruk ke dalam kemiskinan.
Unilever mengakui bahwa rasio pekerja permanen dibanding pekerja kontrak di pabrik Khanewal “dicurangi” demi menguntungkan pekerja kontrak – tidak mungkin sebaliknya dalam sebuah pabrik yang hanya ada 22 pegawai langsung di antara lebih dari 500 pekerja. Namun penunjukkan mereka dari semuanya selain 22 posisi sebagai “non-inti” begitu menggelikan – ini kemustahilan di bidang industri.
Pergulatan yang sebenarnya terjadi ketika Unilever mencoba mendemonstrasikan bahwa tidak ada kemiskinan ataupun ketidaksetaraan ataupun diskriminasi… karena “penyedia layanan mematuhi peraturan upah minimum, jaminan keselamatan sosial dan tunjangan pensiun.”
Sekali lagi, di sinilah fakta-fakta mengenai diskriminasi dan pekerja lepas di Khanewal.
Para pekerja lepas diberikan upah minimum bulanan yang sah sebesar 6,000 Rupees – hanya 33% dari upah terendah 22 pegawai langsung. Tapi untuk menerima 6,000 Rupees per bulan mereka diharuskan bekerja minimal 26 hari tiap bulannya. Jika mereka tidak mencapai 26 hari kerja dalam sebulan, mereka diupah kecil sekali – 232 Rupees per hari, setara dengan 3 dollar AS. Ini adalah upah kemiskinan dalam definisi apapun.
Tunjangan seperti bonus produktifitas dan tunjangan non-upah lainnya membentuk porsi yang signifikan dari paket total seorang pekerja Khanewal yang permanen dan biasanya jumlahnya melebihi dari upah tahunan seorang pekerja lepas/outsourced dalam 26 hari per bulan. Tunjangan-tunjangan ini tidak ditawarkan kepada pekerja lepas.
Hanya karena menanggapi desakan Komite Aksi akhirnya kontraktor-kontraktor buruh dengan enggan mulai mematuhi persyaratan hukum untuk mengikutsertakan pekerja lepas dalam skema jaminan keselamatan sosial dan pensiun – program-program pemerintah yang mana Unilever bisa mengklaim tidak ada kredit CSR ataupun kontribusi dana. Kampanye Casual-T memaksa Unilever untuk menyetujui untuk mengawasi pelaksanaan hukum tersebut, tapi setengah dari pekerja lepas yang telah bergabung dengan Komite Aksi masih kekurangan kartu yang dikeluarkan oleh majikan agensi kontraknya yang mensahkan partisipasi dalam sistem asuransi pensiun negara EOBI; 30% masih menunggu kartu jaminan keselamatan sosialnya.
Pada saat bersamaan tunjangan-tunjangan ini dibayarkan untuk pertama kalinya setelah beberapa dekade pengelakan, manajemen memotong hari kerja dan upah. Sejak Oktober 2008, para pekerja kontrak tersebut yang tidak bergabung dengan Komite Aksi menuntut pekerjaan permanen dan hak-hak serikat buruh dibayar dengan upah minimum menurut klasifikasi keahlian dari Dewan Upah Minimum Punjab. Pekerja-pekerja kontrak yang memang bergabung dengan Komite Aksi telah dibayar dengan upah minimum untuk pekerja yang tak berkeahlian dan/atau telah diturunkan.
Shahid Mahmood, misalnya, yang telah bekerja sebagai tukang pengepas di Unilever Khanewal selama 13 tahun, mengatakan “Sebelum saya masuk komite aksi saya diupah 326 Rupees per hari. Setelah saya masuk komite dan menuntut kasus hukum upah saya dikurangi menjadi 232 Rupees, yaitu upah minimum untuk pekerja tak berkeahlian. Pengepas yang tidak bergabung komite aksi masih mendapatkan 326 Rupees.”
Anggota Komite Aksi Irfan Hayat menjelaskan: “Ketika kami memulai perjuangan untuk hak atas pekerjaan permanen ini dan membentuk Komite Aksi dari pekerja kontrak, saya adalah seorang “Juara Keselamatan” – seorang petugas keamanan/keselamatan di bawah program produktifitas KAIZEN. Saya dilatih tahun 2003 dan pekerjaan saya adalah untuk mencegah kecelakaan dan menemukan bahaya-bahaya di dalam pabrik sebagai bagian dari KAIZEN. Saya dibayar dengan upah harian sebesar 240 Rupees plus upah 4 jam tambahan seperti lembur tetapi tidak seperti pekerja permanen. Saya berpenghasilan 8,000 sampai 8,500 Rupees tiap bulan. Tapi Manajer Pekerjaan dan manajer SDM Unilever pabrik Khanewal marah terhadap Komite Aksi kami dan tuntutan kami untuk pekerjaan permanen. Mereka meminta saya menarik kembali kasus hukum saya. Saya menolak. Sehingga mereka menurunkan pangkat saya. Saya operator mesin sekarang dengan upah 232 Rupees, yaitu upah minimum seorang pekerja tak berkeahlian. ”
Menurut Muhammad Usman “Ada 12 pekerja kontrak dalam QA (Quality Assurance). Saya memiliki gelar diploma dalam computing. Saya telah bekerja di bidang QA selama 2 tahun. Tapi saya “tak berkeahlian” dan upah minimum untuk pekerja yang tak memiliki keahlian adalah 232 Rupees dan tidak ada tunjangan lain. Itu saja.” Banyak anggota Komite Aksi lainnya mempunyai cerita serupa.
Ketika anggota-anggota Komite Aksi – banyak dengan sejarah pengalaman panjang di pabrik – diturunkan dari pekerjaan berkeahlian tinggi ke yang lebih rendah, lebih dari 100 pekerja baru – tanpa ada senioritas dan tidak memiliki keahlian – telah dipekerjakan sejak awal tahun 2009. Mereka telah dipekerjakan hanya untuk satu tujuan: untuk menggerakkan divisi-divisi di antara tenaga kerja lepas dan untuk melemahkan Komite Aksi.
Awal 27 April, Unilever mulai merumahkan dua per tiga dari 237 pekerja lepas yang telah bergabung dengan Komite Aksi. Dalam kebijakan “Tidak ada pekerjaan, tidak ada upah untuk anggota-anggota Komite Aksi”, pekerja menggugat status pekerjaan berbahaya yang permanen yang diberikan kepada mereka hanya delapan hari sampai maksimum delapan belas hari kerja per bulan. Itu hanya 9% sampai 24% dari upah terendah pekerja permanen.
Klaim-klaim Unilever tentang dugaan tunjangan kepada pekerja lepas – tunjungan yang tidak pernah mereka lihat – dimaksudkan hanya untuk mengaburkan pesan kampanye Casual-T. Isu kunci adalah bahwa Unilever Pakistan mengatur, mengelola dan mendapatkan untung dari sebuah sistem pemekerjaan berdasarkan pada pekerjaan lepas hampir seluruhnya melalui buruh kontrak. Salah satu tujuan utama sistem ini adalah membatasi kemampuan para pekerja untuk mempraktekkan hak-hak mereka atas kebebasan berasosiasi dan untuk bernegosiasi secara kolektif dengan Unilever sebagai majikan yang bertanggung jawab. Dalam sistem ini, Unileverlah yang menentukan level para staf dan tugas kerja individu setiap harinya, karenanya langsung menentukan syarat-syarat kerja untuk para pekerja kontrak ini. Namun Unilever bersikeras menolak tanggung jawab sebagai majikan.
Otoritas manajerial Unilever sebagai majikan sebenarnya menegaskan fakta bahwa dua agensi buruh kontrak utama melakukan pasokan secara ekslusif ke pabrik Khanewal. Riaz Ahmed &Brothers dan Abdul Majeed & Sons – yang alamat-alamat resminya adalah tempat tinggal pribadi dan yang operasi satu-satunya berlokasi di dalam pabrik Unilever Khanewal – bersama memasok lebih dari 450 pekerja.
Sambil mempertahankan kewenangan absolut untuk menentukan syarat-syarat pemekerjaan dan pekerjaan untuk lebih dari 500 pekerja di pabrik Khanewal, sistemnya memperkenankan Unilever untuk membatasi hak-hak pekerja-pekerja ini untuk mewakili diri mereka sendiri dalam penawaran kolektif dengan perusahaan tempat mereka benar-benar bekerja di dalamnya, yaitu Unilever. Hak ini terbatas hanya pada 22 pekerja. Untuk menolak bahwa sistem tersebut dibangun atas dasar diskriminasi adalah menggelikan. Tentu saja para pekerja di Riaz Ahmad & Brothers dan Abdul Majeed & Sons – atau di keserbaragaman kontraktor mikro yang masing-masing memasok sejumlah pekerja lepas ke Lipton Pakistan – “bebas” untuk membentuk serikat buruh, berbagi dalam produktifitas agensi kontrak mistis atau bonus bagi keuntungan, dan melaksanakan hak-hak mereka dalam Taman Firdaus yang outsourced. Dalam dunia kekuasaan yang nyata, hak-hak mereka dilanggar secara brutal dan sistematis.
Ketika manajemen Unilever Pakistan berusaha memutuskan penolakan Komite Aksi Khanewal, seberapa banyak kekenduran produksi Khanewal direkayasa di “Gudang” tak bernama di Karachi, sebuah fabrik manufaktur yang menyamar sebagai sebuah gudang? Apakah Unilever tahu? Apakah mereka siap untuk mengumumkan ilustrasi/angka-angka dalam laporan CSR mereka berikutnya? Apakah mereka siap untuk mengatakan kepada konsumen Pakistan bahwa perusahaan mereka tidak bertanggung jawab atas produknya, karena mereka tidak membuatnya sendiri? Apakah mereka bersedia menyerahkan penghargaan sumber daya manusianya kepada kontraktor buruh? Atau memberikan ilustrasi angka tentang peningkatan kontribusi dari buruh outsource sampai penggandaan penjualan bersih dan pengoperasian keuntungan di Pakistan selama 3 tahun terakhir?
Menurut Unilever, satu-satunya perbedaan penting antara sejumlah pekerja permanen dan ribuan pegawai lepas di dalam pabrik-pabrik Pakistan adalah bahwa pekerja permanen memiliki Paspor Kesehatan Vitalitas Pribadi. Setiap orang memiliki tunjangan, dan (tentu saja) setiap orang yang membuat sebuah produk Unilever, apakah mereka dipekerjakan oleh Unilever atau tidak, memiliki hak-haknya. Menurut Konvensi ILO, sistemnya berdasarkan pada pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi dan eksklusi. Melalui Komite Aksi, para pekerja Khanewal menuntut hak-hak mereka.
Manajemen perusahaan di Unilever mengetahui ini. Mereka akan disarankan untuk tidak lagi menempatkan pusaran CSR pada sistem eksploitasi yang buruk dan tak dapat dipertahankan dan memulai negosiasi dengan niat baik mencari solusi.
sumber : http://asianfoodworker.net/ri/?p=521
begitu pula yang terjadi di Unilever Indonesia
BalasHapus